Halaqah Fiqih Peradaban digelar di Pesantren Maslakul Huda Kajen

Kajen, Maslakul Huda – Dalam rangka menyambut Satu Abad NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar acara Halaqah Fiqih Peradaban di Pesantren Maslakul Huda (PMH) pada Sabtu (15/10/2022) yang diadakan bertepatan dengan Haul KH. Mahfudz Salam dan KH. MA. Sahal Mahfudh ke-8. Tema yang dibahas kali ini adalah Fiqih Siyasah dan Masalah Minoritas; Perlindungan Negara terhadap Kaum Minoritas yang disampaikan oleh dua narasumber yakni KH. Ulil Abshar Abdalla (Ketua Lakpesdam PBNU) dan KH. Ahmad Dimyati (Muhadlir Ma’had Aly Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh).

Acara ini dihadiri oleh para tokoh, Kiai dan Ulama sekitar Jawa Tengah yang beberapa diantaranya adalah KH. Ulil Abshar Abdalla (Ketua Lakpesdam PBNU), KH. Sholahuddin Al-Ayyubi (Ketua MUI, Katib Syuriah NU), Prof. Dr. Arif Subhan (Wakil Rektor UIN Jakarta), dan juga beberapa Bunyai salah satunya adalah Ibu Hj. Tutik Nurul Janah Rozin (Ning Tutik). Tak hanya itu, acara ini juga dihadiri oleh para Kiai sekitar Kajen, Muhadlir Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh, para alumni, juga beberapa santri aktif PMH.

Pada sesi pertama, KH. Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) memaparkan bahwa Halaqah Fiqih Peradaban sebagaimana yang diketuai oleh KH. Cholil Yahya Staquf  (Ketua Umum PBNU) ini merupakan program halaqah yang beliau hidupkan kembali sebagaimana yang pernah digagas KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebelumnya. Keduanya memiliki tujuan yang sama yakni Rekontekstualisasi Kitab Kuning dan melanggengkan tradisi pesantren.

Gus Yahya dalam mengembangkan program ini, mengambil tema besar Fiqih Peradaban. Karena tema yang menjadi perhatian pemimpin-pemimpin dunia ini adalah tema yang terkait dengan peradaban yang cakupannya dunia, bukan hanya nusantara saja. Fiqih peradaban  memiliki banyak dimensi, salah satunya Fiqih Siyasah.

“Nusantara memiliki banyak Ulama dan Kiai yang berpotensi, akan tetapi seringkali realitanya ketika dalam acara Bahtsul Masail yang dilaksanakan berakhir mauquf, kalau kita mauquf berarti sama saja lari dari tanggung jawab. Tawadlu’ tidak pada tempatnya itu dlolim (تواضع في غير محله ظلم). Oleh karena itu, harapannya dengan adanya program halaqah ini nantinya dapat menjadi wadah dalam menjawab permasalahan umat, bukan hanya bagi Indonesia saja tapi seluruh dunia.” Ujar Gus Ulil.

Program halaqah ini nantinya akan dilaksanakan di 250 titik, 75 daerah di Jawa Tengah, 75 di Jawa Timur, 50 di Jawa Barat, dan 50 lagi di luar Jawa. Halaqah pertama kali sekaligus peresmiannya dilaksanakan di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kemudian pada kesempatan kali ini PBNU meminta kepada Pesantren Maslakul Huda untuk menjadi tuan rumahnya, dan memang sengaja diadakan bertepatan sebagai salah satu rangkaian acara peringatan Haul KH. Mahfudz Salam dan KH. MA. Sahal Mahfudh agar acara ini bisa menjadi lebih berkah.

Sesi selanjutnya, KH. Ahmad Dimyati selaku narasumber kedua menjelaskan tema spesifik yang diambil yakni masalah minoritas. Selama ini masih dipermasalahkan tentang definisi minoritas dan mayoritas. Masyarakat umum melihat minoritas sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tertindas, terpinggirkan. Sedangkan mayoritas konotasinya sering kali dianggap baik dan unggul. Namun jika ditelisik dalam ayat-ayat Al-Qur’an, ada banyak kelompok minoritas justru sebagai suatu hal yang baik dan mayoritas justru menjelaskan sesuatu yang buruk. Salah satunya penjelasan sekelompok orang yang beriman lebih sedikit dibahas daripada kelompok mayoritas orang-orang yang musyrik.

Hal tersebut memicu untuk memunculkan adanya redefinisi terhadap minoritas dan mayoritas. Bahwa penempatan istilah minoritas-mayoritas ini tidak hanya pada sesuatu yang identik dengan ketertindasan dan terdominasi, akan tetapi lebih kompleks. Minoritas tidak selamanya selalu identik dengan hal buruk dan mayoritas tidak selalu merupakan sesuatu yang baik.

Pengasuh Pesantren Maslakul Huda KH. Abdul Ghofarrozin (Gus Rozin) dalam sambutannya menyampaikan sedikit tentang tema yang diambil, bahwa asumsi awal perspektif kolektif masyarakat terhadap minoritas itu seringkali berkaitan dengan suku dan agama. Seperti suku tionghoa atau suku-suku lain yang selama ini tidak mendapatkan porsi yang tepat, atau agama-agama lain selain muslim di Indonesia yang seringkali juga disebut kaum minoritas. Lalu hal ini menimbulkan pertanyaan apakah persoalan minoritas ini dapat merambah kepada yang lain?

Kemudian Gus Rozin menambahkan bahwa diadakannya acara ini agar menjadi wadah untuk membuka wawasan sekaligus melaksanakan konsolidasi keilmuan di Pesantren Maslakul Huda dengan para kyai dan para alumni yang hadir.

Harapan beliau semoga diskusi-diskusi ini selanjutnya dapat mengusulkan sebuah agenda besar dalam konteks Fiqih Siyasah dengan melihat secara lebih kompleks dan komprehensif terhadap persoalan definisi minoritas-mayoritas ini.

“Artinya dalam fiqih siyasah ini kita tidak hanya membahas persoalan minoritas suku dan agama saja, tapi juga minoritas pada hal-hal yang lain. Semoga diskusi ini bisa menjadi diskusi yang hidup. Semua peserta pun punya hak yang sama dalam mengungkapkan pendapat, tidak ada minoritas dalam menyampaikan suara” pungkas beliau.

*Vina Rahma Sania